Friday, March 13, 2020

Etnisku kau coreng,Hatiku kau goret KAWAN





Musik dari alunan gong dan kawanan dimainkan,membangkitkan semangat jiwa-jiwa yang mendengar. Hentakan kaki,gerakan badan dan tangan mengikuti alunan musik.

Pakaian adatnya rapi membaluti tubuh si pemakai,atribut dan topi dengan belalai tinggi mempercantik tampilan muda-mudinya.

Alat musiknya terbang tinggi mendunia,
Pendengar terhipnotis dengan petikan senar dibalik dedaunan lontar dari jari-jemari si pemain.

Hallo kawan.
Ini kami,orang-orang pintar yang banyak di kenal. Kami pandai dan cerdik,guyonan kami bukanlah bekal tipu-menipu. Jangan tertipu kawan,jadilah bijak menyikapinya.

Kawan,
Kalimat baikmu menjadi bibit baik pula dan akan tumbuh subur dihati kami,begitu juga dengan narasi burukmu akan merubah presepsi orang-orang yang belum mengenal kami.

Kawan,
Kita satu, marilah berkontes untuk menyatukan keragaman budaya kita. Jangan saling menjatuhkan untuk kepuasan sesaat,ayo berkelana bersama memperkenalkan budaya kita pada orang-orang diluar sana.

Thursday, March 12, 2020

Berdamai dengan kekecewaan

Terbaring pada matras lantai di bawa bingkai kaca jendela, pandangan tertuju pada beningnya kaca yang menunjukan gumpalan awan gelap di luar sana.

Air langit bercucuran begitu deras, 
Aroma tanah dan dedaunan begitu menyegarkan.
Seketika hati kembali teriris, mengingat kembali jejak langkah yang pernah berbekas, senyuman dan tawa penuh semangat dari seorang gadis remaja di hari yang lampau.

Berambisi untuk menjadi sesuatu yang besar namun harus menelan pahitnya kekecewaan, dituntut untuk berjiwa besar demi sang anak emas. Dibiarkan mutiara itu hilang untuk memoles besi yang berkarat .

Hati itu merintih mengharapkan keadilan atas mimpi besarnya, menangis tanpa ada yang perduli karena mungkin dia tak cukup berarti.. Berlatih, belajar dan berprestasi tak dapat mengantarnya pada pintu gerbang harapan itu.

Semua harus dikubur dalam-dalam dengan sedikit amarah yang terus berbekas, kebencian menghantui menjadi penyakit hati kronis untuknya..

Apalah daya, 
Ambisinya tak dapat mengalahkan kenyataan, baban dipundak si tulang punggung teramat berat. Dia sudah rapuh untuk menjadikan mutiara itu lebih berkilau karena masa depan si anak emas lebih berarti.

Hujan pun redah,
Hati yang piluh kembali diobati dengan hadirnya pelangi nan indah.
Mencoba menenangkan perasaan penuh amarah yang terkadang hadir dan memilih berdamai pada kekecewaan.




Senyum dalam tangisan



Tangisan dalam diam tanpa air mata, jiwa yang lama berkorban untuk dahaga yang tua.
Memberontak ingin keluar dan akhirnya ia pergi, terlepas bebas dalam terik dan gelapnya malam di tanah tetangga.
Jiwa yang hampir kehilangan akal untuk hidup tetap berjalan, berfikir liar hingga di luar nalar.

Tak ada yang mencari dan tak ada yang bertanya, mereka lebih sibuk karena mungkin rumah sudah cukup bising. Jiwa itu tak di butuhkan, tak pula di cemaskan.

Heiii,
Itu raga si gadis belia, bukan lelaki perkasa.

Jiwa itu damai ketika suara angin berhembus tak terdengar, ketika bolam meminta di redupkan. Lagu lirih berputar sendiri dalam gundanya hati pengantar tidur sehari-hari.

Tuhan menatapnya detik demi detik, Tuhan pernah menguji dan jiwa itu tergoda. Tengalam sedalam-dalamnya, hancur lagi dan tak ada yang perduli.

Heii,
Apakah keadaan rumah yang bising masih membuat kalian lupa?
Siapa yang mampu dia ajak meratapi jika bulan pun enggan tampak di jendela kamar pojok.

Semua berlalu begitu hampa, seakan tertawa lepas di depan banyak diri padahal jalan nafas tercekik. Jiwa itu berdiri dengan kaki penuh duri, dengan hati yang terus teriris tanpa ada yang perduli. Padalah dia bukan hidup sendiri .

Jarum waktu berputar sangat cepat seakan ada yang memainkannya ...

Jiwa yang lain dia temukan, sosok yang sama dengan panggilan yang berbeda. Pertemuan yang dulu terulang namun dengan situasi yang membingungkan. Mencoba menguatkan hati dengan keyakinan 'semua rencana Tuhan' .

Alur cerita Tuhan memang indah adanya, jiwa2 itu seakan sama dalam wujud berbeda bak cermin memantulkan diri siapa yang memandang.

Jiwa rapuh itu begitu damai dengan kemah baru yang mereka rakit bersama, semakin kokoh dengan ketulusan didalamnya.

Saat ini jiwa itu merasakan apa yang tak pernah ia rasakan, diutamakan lebih dari diri si pemberi perhatian. Merasa sangat dimiliki dari sosok yang terlihat brutal namun teramat penyayang.

Semua berjalan begitu luar biasa hingga lamanya waktu hadirlah jiwa munggil yang lain.

Hidup sudah lebih baik, yang dulu selalu mundur karena yang tua meminta berdiri di depan. Berbagi lebih banyak karena yang tua tak ingin berbagi.

Kini mereka semua berteriak dengan suara menggelegar, jiwa itu di agungkan agar dapat di panggil pulang.

Heii,
Rumah yang mana yang ingin dia tujuh?
Kemana diri-diri didalamnya yang selama ini acuh?

   
Nuruladjam